-->

Anak Laki-Laki Lebih Membutuhkan Perhatian dari Seorang Ibu

Anak laki-laki itu sebenarnya lebih membutuhkan perhatian ibunya dibandingkan anak perempuan. Dia perlu mengenali emosinya secara sehat, termasuk emosi negatif. Dan yang lebih mudah memahami dan memperkenalkan soal emosi adalah sosok ibu, biasanya. Meski tidak selalu. Sebab, ibu dengan pola pikir logis atau tipe Thinking kesulitan menerima dan mengungkapkan emosi negatif, seperti bersedih atau berempati, sebaik orang tipe Feeling.
Dalam peran sosial yang terlanjur terbentuk secara turun-temurun sejak lama, anak laki-laki umumnya hanya sebentar merasa dekat dengan ibunya sebelum akhirnya menjalankan perannya sebagai laki-laki dewasa kelak. Semakin tipe Thinking ibunya, semakin sedikit pula kedekatan emosional yang tercipta dengan anaknya. Akibatnya, semakin tercipta jarak batin yang luas.
Saat anak laki-laki dituntut berperan sebagai laki-laki, dia akan bergaul dengan kaum lelaki lainnya. Dan biasanya, dia melebur dengan pakem kaum tersebut, agar mudah diterima ketika bersosialisasi.
Di saat yang sama, anak perempuan bisa kapanpun kembali kepada ibunya, jika hubungannya sehat. Kembali curhat. Meminta saran dan masukan. Dan lain-lain.
Anak laki-laki yang tidak memiliki kedekatan batin dengan ibunya akan kesulitan melakukan hal yang sama. Diperparah dengan pemikiran bahwa anak laki-laki itu harus kuat, tidak boleh cengeng dan mengeluh, dan lainnya.
Akibatnya, dia terjebak ke dalam satu pemikiran juga bahwa ketika dia merasa kesal, bosan, sedih, marah, lelah, hingga lapar dia hanya bisa mengungkapkannya dengan kemarahan. Dia tidak diajari cara meminta sesuatu atau bantuan. Dia dilarang (atau minimal, tidak pernah diminta atau ditanya dalam hal) mengungkapkan perasaannya. Dia tidak diperkenalkan dengan empati.
Ini menimbulkan masalah besar ketika dia menjalin hubungan dengan orang lain, khususnya pasangan.
Semakin orangtuanya narsisistik alias galak dan terlalu keras dalam mendidiknya dan sekaligus mengabaikannya di saat-saat dia membutuhkan bantuan, perhatian, dan dukungan moril, semakin anak laki-laki mencoba berpikir logis dan mematikan empatinya. Kalau ada masalah dengan peran gender dan seksualitasnya, semakin dia masuk ke lingkungan pergaulan yang salah, diam-diam. Tanpa sepengetahuan orangtuanya. Ini yang jadi pintu gerbang kenapa seseorang jadi memiliki masalah identitas seksual yang rancu sejak muda.
Atau, dia rentan mengalami gangguan kepribadian dan/atau mental dan/atau terjebak ke dalam tindak kriminalitas.
Jadi, kuncinya, anak laki-laki perlu diizinkan meluangkan waktu dua kali lebih lama dengan ibunya (yang berempati besar, tapinya ya) di masa balitanya, dibandingkan anak perempuan. Supaya dia kelak punya empati yang bagus terhadap kaum wanita. Dan tidak menjadi misoginis. Juga, agar dia paham bahwa istrinya kelak bukanlah ibunya, melainkan pasangannya, yang setara dengannya. Karena di hubungan toksik, yang terjadi adalah ketika dia menjadi suami, dia akan menganggap istrinya juga harus berperan sebagai ibunya. Padahal, keduanya jelas merupakan sosok yang berbeda. Sang istri hanyalah ibu dari anak-anaknya, bukan ibu baginya. Jika terjadi kerancuan peran, pasti hubungannya jadi keruh. Rusak.
Kita tidak mau ini terjadi kan?